Jumat, 20 April 2012

Pancasila ssebagai Pradigma


PANCASILA SEBAGAI PRADIGMA
A. Pendahuluan
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistemnilai
acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai
sistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka
arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya: (1)
pengembangan ilmu pengetahuan, (2) pengembangan hukum, (3) supremasi hukum
dalam perspektif pengembangan HAM, (4) pengembangan sosial politik, (5)
pengembangan ekonomi, (6) pengembangan kebudayaan bangsa, (7) pembangunan
pertahanan, dan (8) sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai titik tolak
memahami asal mula Pancasila.
Kedelapannya itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan. Namun
demikian agar sistematikanya menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai
oleh ‘paradigma yang terakhir’ (8), baru kemudian secara berurut dilanjut oleh (1)
s.d. (7).
------------------------
· Makalah-perbaikan dari makalah yang pernah disajikan pada kegiatan “Deseminasi MKPK Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarga-negaraan” bagi para Dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan di lingkungan Unpad tanggal 24 Nopember 2000 di Kampus Unpad (Dipati Ukur).
** Dosen pada FISIP UNPAD serta Alumnus Pelatihan (TOT) Pendidikan Pancasila (Dikti Depdiknas, 2000)
dan Alumnus Pelatihan (Internship) Filsafat Pancasila (Dikti-UGM Depdikbud, 1998).
1
Sumber materi makalah ini sebagian terbesarnya merupakan saripati materi
pada makalah-makalah para pembicara (lihat Daftar Pustaka), yang dilengkapi
dengan pengetahuan penulis selama ini—baik yang diperoleh dari kegiatan diskusi
Pelatihan (TOT) maupun sumber-sumber pustaka lainnya.
B. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak
Memahami Asal Mula Pancasila
Asal mula Pancasila secara materil merupakan bagian tak terpisahkan
dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yaitu berupa nilai-nilai yang terkandung
di dalam Pancasila; secara formal merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah
pergerakan nasional yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan, yaitu berupa
proses perumusan dan pengesahannya sebagai dasar filsafat NKRI.
Secara materil, nilai-nilai Pancasila bermula dari tradisi hidup-berdampingan
(antar-yang-berbeda agama), toleransi umat beragama, persamaan haluan politik yang
anti-penjajahan untuk mencita-citakan kemerdekaan, gerakan nasionalisme, dan
sebagainya. Yang kesemuanya telah hidup dalam adat, kebiasaan, kebudayaan, dan
agama-agama bangsa Indonesia.
Secara formal, perumusan Pancasila disiapkan oleh BPUPKI (29 Mei s.d. 1
Juni 1945) dan disahkan oleh PPKI (18 Agustus 1945).
2
Asal mula Pancasila sebagai dasar filsafat negara dibedakan kedalam: (1)
causa materialis, yaitu berasal dari dan terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan, (2) causa formalis dan finalis, yaitu
terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekitar proklamasi kemerdekaan,
(3) causa efisien, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah
proklamasi kemerdekaan.
C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dengan memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan yang diletakkan
di atas Pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya,
yaitu pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya.
Pada ontologisnya berarti hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktivitas
manusia Indonesia yang tidak mengenal titik-henti dalam upayanya untuk mencari
dan menemukan kebenaran dan kenyataan yang utuh dalam dimensinya sebagai
masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat berarti
mewujud dalam academic community; sebagai proses berarti mewujud dalam
scientific activity; sebagai produk berarti mewujud dalam scientific product beserta
aplikasinya.
Pada epistemologisnya berarti Pancasila dengan nilai-nilai yang
terkandungnya dijadikan metode berpikir (dijadikan dasar dan arah berpikir) dalam
3
mengembangkan ilmu pengetahuan, yang parameternya adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila itu sendiri.
Pada aksiologisnya berarti bahwa dengan menggunakan epistemologi
tersebut, kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif
tidak bertentangan dengan ideal Pancasila dan secara positif mendukung atau
mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila.
Atas dasar itu, perguruan tinggi harus mewujud secara kultural dan struktural
dalam tradisi akademis/ilmiah. Kultural dalam arti sivitas akademikanya memiliki
sikap akademis yang selalu berusaha sebagai ‘pemusafir’ ilmu pengetahuan yang
tanpa batas. Struktural dalam arti dunia perguruan tinggi harus dipupuk secara
demokratis dan terbuka melalui wacana akademis—harus melepaskan diri sebagai
‘jawatan’—agar kreativitas dan daya inovasi dapat berkembang, sehingga tugas
tridharma perguruan tinggi dapat berjalan dan berhasil secara optimal.
D. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi,
yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi,
yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan yang juga mendasar.
4
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila,
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan
bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi
positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh
negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan
ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU
dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (silasila
Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan
hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk
tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha
Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus
merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum
responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
5
E. Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM
Dalam negara hukum, supremasi hukum pun harus menjamin bahwa HAM
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh hukum; HAM harus sebagai ciri negara hukum.
Secara objektif, HAM merupakan kewenangan-kewenangan pokok yang
melekat pada manusia (atau melekat pada kodrat manusia), yang harus diakui dan
dihormati oleh masyarakat dan negara. HAM itu universal, tidak tersekat oleh suku,
bangsa, dan agama; tetapi tatkala HAM dirumuskan dalam UUD (konstitusi), ia
menjadi berbeda-beda menurut ideologi, menurut kultur negara masing-masing.
Begitu juga di Indonesia, HAM Indonesia adalah HAM yang berlandaskan
pada Ideologi Pancasila. Ini berarti bahwa HAM di Indonesia (sila Kedua) harus
yang berlandaskan pada dan bertanggungjawab kepada Tuhan (sila Pertama), harus
yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara (sila Ketiga), harus yang
diakui/disepakati dan dihormati oleh masyarakat/rakyat (sila Keempat), dan harus
yang diimbangi oleh kewajiban-kewajiban sosial(sila Kelima).
F. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Politik
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa
Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin
diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
6
· Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya,
agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
· Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;
· Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan persatuan;
· Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang
adil dan beradab;
· Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan
kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan),
masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai
sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
7
G. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi
atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan
perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak
lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi
besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah
koperasi.
Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program
kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih
mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan
demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam
8
berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan
memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau
meningkatkan kepastian hukum.
H. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kebudayaan
Bangsa
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma
pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu
diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat,
di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu
secara berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi
sukubangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan
pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan
menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan
kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
9
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi
kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama,
bagi kebudayaan-kebudayaan di daerah: (1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun
sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang
tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sila Kedua,
merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia
tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu
bangsa yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas
persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan
kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan
nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima,
betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
I. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan
Paradigma-baru TNI dalam rangka menjadikan Pancasila (sila-sila Pancasila)
10
sebagai paradigma pembangunan pertahanan adalah berupa: (1) Tindakan TNI
senantiasa: (a) melaksanakan tugas negara dalam rangka pemberdayaan kelembagaan
fungsional, (b) atas kesepakatan bangsa, (c) bersama-sama komponen strategis
bangsa lainnya, (d) sebagai bagian dari sistem nasional, (e) melalui pengaturan
konstitusional; dan (2) pada hakikatnya merupakan pemberdayaan bangsa.
Esensi implementasi paradigma-baru itu—secara internal TNI—berupa:
(1) tanggalkan kegiatan sosial politik, (2) bertugas pokok pada pertahanan negara
terhadap ancaman dari luar negeri, (3) keamanan dalam negeri merupakan fungsi
Polri, (4) melakukan penguatan dan penajaman pada konsistensi doktrin gabungan
(keseimbangan AD-AL-AU).
Paradigma-lama TNI (ABRI) berupa: (1) pendekatan keamanan pada
masalah kebangsaan, (2) posisi ABRI dekat dengan pusat kekuasaan, (3) ABRI
sebagai penjuru bagi penyelesaian segenap masalah kebangsaan, (4) ABRI dapat
ambil inisiatif bagi penyelesaian masalah kebangsaan, (5) ABRI berperan dalam
sistem politik nasional, (6) bermitra tetap dalam politik: dukung mayoritas tunggal
(ABG).
J. Implikasi Paradigma Pancasila pada Pemahaman UUD 1945
Karena Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup (PH), dasar negara
(DN), dan tujuan negara (TN) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, ia harus
dijadikan sistem nilai acuan (paradigma) dalam memahami UUD 1945.
11
Selanjutnya, karena UUD 1945 merupakan hukum dasar (yang tertulis) bagi segala
norma moral bangsa (NM), norma hukum nasional (NH), dan norma
politik/kebijakan pembangunan (NK), ia harus dijadikan landasan bagi pembangunan
moral bangsa, hukum nasional, dan kebijakan pembangunan nasional di segala
bidang. Sehingga, pembangunan moral, hukum, dan kebijakan pembangunan di
Indonesia harus dalam kerangka merealisasikan, selalu berada di jalur, dan selalu
mengacu pada nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila.
Implikasinya pada pemahaman UUD 1945 dapat dijelaskan bahwa setiap
pemaknaan, penafsiran-kembali, atau perubahan UUD 1945 harus ditempatkan dalam
kerangka memahami, merealisasikan, menjabarkan, menegakan, dan mengacu pada
nilai-nilai yang terkandung dalam kesatuan sila Pancasila.
K. Reaktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi dan Era
Global
Di era reformasi dan era global ini kita menyaksikan seakan-akan Pancasila
begitu ‘hilang dari peredaran’, padahal ia sesungguhnya merupakan ideologi
bangsa/negara Indonesia yang terwujudkan sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan tujuan negara/bangsa
Indonesia.
12
‘Kehilangan’ ini tampak pada adanya dua fenomena, sebagai contoh, berikut:
1. Dalam berpraktek politik kenegaraan, yang menonjol kini adalah aktualisasi
ideologi-ideologi-aliran/ideologi-ideologi-partisan yang ditunjukan oleh pribadipribadi,
partai-partai politik, ormas-ormas, daerah-daerah, dan lain sebagainya.
Mereka cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau
daerah daripada kepentingan bangsa dan negara untuk bersama-sama mengatasi
krisis bangsa yang multidimensional.
2. Dalam berpraktek ekonomi nasional, yang menonjol kini adalah aktualisasi jualbeli
uang, lobi bisnis politik-uang, perebutan jabatan publik ekonomis, dan lain
sebagainya yang ditunjukan oleh para konglomerat, para pialang saham (baik
pemain domestik maupun internasional), para politisi/partisan partai politik, atau
yang lainnya yang seringkali mengabaikan kepentingan yang lebih luas, lebih
besar, dan lebih jauh ke depan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Fenomena seperti itu, kemudian mengundang kita untuk berpikir: Bagaimana
mengatasinya? Secara ideologis, jawabannya adalah dengan cara reinterpretasi dan
reaktualisasi nilai-nilai Pancasila. Agar reinterpretasi dan reaktualisasi Pancasila itu
tepat—yang pada akhirnya akan dapat memahami UUD 1945 secara benar—,
diperlukan pemahaman Pancasila:
1. Yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan empiris dan objektif dari sejarah nilainilai
budaya bangsa Indonesia sejak budaya suku-suku asli sampai dengan saatsaat
menjelang tanggal 18 Agustus 1945 ketika Pancasila disahkan oleh PPKI.
13
2. Ini diperlukan untuk lebih meyakini bahwa Pancasila itu milik bangsa Indonesia
sejak dahulu kala; yang lahir dan berkembang di dalam sejarah manusia dan
bangsa Indonesia.
3. Yang diyakini bahwa ideologi Pancasila itu berguna dalam menjawab dan
mengatasi permasalahan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, yaitu
terutama permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan: (1) yang
tidak terjawab oleh masing-masing agama di Indonesia, (2) yang tidak
terjangkau oleh masing-masing
budaya-lokal, oleh ideologi-ideologi partisan di Indonesia, atau oleh ideologiideologi
global di dunia, (3) yang tidak terakomodasi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi, (4) yang tidak terpikirkan oleh ilmuwan/pemimpin/ tokoh bangsa di
Indonesia, dan (5) yang belum teralami oleh hidup manusia/masyarakat
Indonesia.
4. Yang sedang ditantang oleh globalisasi ilmu pengetahuan dan informasi,
liberalisasi ekonomi/perdagangan, globalisasi politik dan hukum/HAM yang
liberal (west-vision), standardisasi kualitas lingkungan hidup (yang ramah
lingkungan) global, dan seterusnya.
Tegasnya, kini tidak bisa lagi memahami Pancasila dan UUD 1945 secara
mengabaikan nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia, berpikir dan bersikap eksklusif
seakan-akan pihak dirinya yang paling benar, dan menutup diri dari pengaruh
glob