PANCASILA SEBAGAI PRADIGMA
A. Pendahuluan
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan
bahwa Pancasila sebagai sistemnilai
acuan,
kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau jelasnya sebagai
sistem
nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka
arah/tujuan
bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya: (1)
pengembangan
ilmu pengetahuan, (2) pengembangan hukum, (3) supremasi hukum
dalam
perspektif pengembangan HAM, (4) pengembangan sosial politik, (5)
pengembangan
ekonomi, (6) pengembangan kebudayaan bangsa, (7) pembangunan
pertahanan,
dan (8) sejarah perjuangan bangsa Indonesia sebagai titik tolak
memahami
asal mula Pancasila.
Kedelapannya
itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan. Namun
demikian
agar sistematikanya menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai
oleh
‘paradigma yang terakhir’ (8), baru kemudian secara berurut dilanjut oleh (1)
s.d.
(7).
------------------------
· Makalah-perbaikan dari makalah yang pernah disajikan pada kegiatan
“Deseminasi MKPK Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarga-negaraan” bagi para Dosen Pendidikan Pancasila dan Pendidikan
Kewarganegaraan
di lingkungan Unpad tanggal 24 Nopember 2000 di Kampus Unpad (Dipati Ukur).
**
Dosen pada FISIP UNPAD serta Alumnus Pelatihan (TOT) Pendidikan Pancasila
(Dikti Depdiknas, 2000)
dan
Alumnus Pelatihan (Internship)
Filsafat Pancasila (Dikti-UGM Depdikbud, 1998).
1
Sumber
materi makalah ini sebagian terbesarnya merupakan saripati materi
pada
makalah-makalah para pembicara (lihat Daftar Pustaka), yang dilengkapi
dengan
pengetahuan penulis selama ini—baik yang diperoleh dari kegiatan diskusi
Pelatihan
(TOT) maupun sumber-sumber pustaka lainnya.
B. Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia sebagai Titik Tolak
Memahami Asal Mula Pancasila
Asal
mula Pancasila secara materil merupakan bagian tak terpisahkan
dari
sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yaitu berupa nilai-nilai yang terkandung
di
dalam Pancasila; secara formal merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah
pergerakan
nasional yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan, yaitu berupa
proses
perumusan dan pengesahannya sebagai dasar filsafat NKRI.
Secara materil, nilai-nilai Pancasila
bermula dari tradisi hidup-berdampingan
(antar-yang-berbeda
agama), toleransi umat beragama, persamaan haluan politik yang
anti-penjajahan
untuk mencita-citakan kemerdekaan, gerakan nasionalisme, dan
sebagainya.
Yang kesemuanya telah hidup dalam adat, kebiasaan, kebudayaan, dan
agama-agama
bangsa Indonesia.
Secara formal, perumusan Pancasila
disiapkan oleh BPUPKI (29 Mei s.d. 1
Juni
1945) dan disahkan oleh PPKI (18 Agustus 1945).
2
Asal mula Pancasila sebagai dasar filsafat negara dibedakan kedalam: (1)
causa
materialis, yaitu berasal dari dan terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa
Indonesia
sebelum proklamasi kemerdekaan, (2) causa formalis dan finalis, yaitu
terdapat
dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekitar proklamasi kemerdekaan,
(3)
causa efisien, yaitu terdapat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia setelah
proklamasi
kemerdekaan.
C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Dengan
memasuki kawasan filsafat ilmu, ilmu pengetahuan yang diletakkan
di
atas Pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya,
yaitu
pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya.
Pada
ontologisnya
berarti hakikat ilmu pengetahuan merupakan aktivitas
manusia
Indonesia yang tidak mengenal titik-henti dalam upayanya untuk mencari
dan
menemukan kebenaran dan kenyataan yang utuh dalam dimensinya sebagai
masyarakat,
sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat berarti
mewujud
dalam academic community; sebagai proses berarti mewujud dalam
scientific activity; sebagai
produk berarti mewujud dalam scientific
product beserta
aplikasinya.
Pada
epistemologisnya berarti Pancasila dengan nilai-nilai yang
terkandungnya
dijadikan metode berpikir (dijadikan dasar dan arah berpikir) dalam
3
mengembangkan
ilmu pengetahuan, yang parameternya adalah nilai-nilai yang
terkandung
dalam Pancasila itu sendiri.
Pada
aksiologisnya
berarti bahwa dengan menggunakan epistemologi
tersebut,
kemanfaatan dan efek pengembangan ilmu pengetahuan secara negatif
tidak
bertentangan dengan ideal Pancasila dan secara
positif mendukung atau
mewujudkan
nilai-nilai ideal Pancasila.
Atas
dasar itu, perguruan tinggi harus mewujud secara kultural dan struktural
dalam
tradisi akademis/ilmiah. Kultural dalam arti sivitas akademikanya memiliki
sikap
akademis yang selalu berusaha sebagai ‘pemusafir’ ilmu pengetahuan yang
tanpa
batas. Struktural dalam
arti dunia perguruan tinggi harus dipupuk secara
demokratis
dan terbuka melalui wacana akademis—harus melepaskan diri sebagai
‘jawatan’—agar
kreativitas dan daya inovasi dapat berkembang, sehingga tugas
tridharma
perguruan tinggi dapat berjalan dan berhasil secara optimal.
D. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Hukum
Dengan
ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi,
yang
di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok
materi-muatan konstitusi,
yaitu:
(1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2) adanya susunan ketatanegaraan
negara
yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan
yang juga mendasar.
4
Sesuai
dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan
Pancasila,
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan
bagian dari hukum positif. Dalam
kedudukan yang demikian, ia mengandung segi
positif
dan segi negatif. Segi positifnya,
Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh
negara);
segi negatifnya,
Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan
ketentuan
Pasal 37 UUD 1945.
Hukum
tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU
dan
peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (silasila
Pancasila
dasar negara).
Dalam
kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan
hukum’,
hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk
tidak
dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha
Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan
yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
(5)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan
demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus
merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung
dalam
Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan
karakter produk hukum
responsif
(untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
5
E. Supremasi Hukum dalam Perspektif Pengembangan HAM
Dalam
negara hukum, supremasi hukum pun harus menjamin bahwa HAM
dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh hukum; HAM harus sebagai ciri negara hukum.
Secara
objektif, HAM merupakan kewenangan-kewenangan pokok yang
melekat
pada manusia (atau melekat pada kodrat manusia), yang harus diakui dan
dihormati
oleh masyarakat dan negara. HAM itu universal, tidak tersekat oleh suku,
bangsa,
dan agama; tetapi tatkala HAM dirumuskan dalam UUD (konstitusi), ia
menjadi
berbeda-beda menurut ideologi, menurut kultur negara masing-masing.
Begitu
juga di Indonesia, HAM Indonesia adalah HAM yang berlandaskan
pada
Ideologi Pancasila. Ini berarti bahwa HAM di
Indonesia (sila Kedua) harus
yang
berlandaskan pada dan bertanggungjawab kepada Tuhan (sila Pertama), harus
yang
mendahulukan kepentingan bangsa dan negara (sila Ketiga), harus yang
diakui/disepakati
dan dihormati oleh masyarakat/rakyat (sila Keempat), dan harus
yang
diimbangi oleh kewajiban-kewajiban sosial(sila Kelima).
F. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Politik
Pancasila
sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa
Pancasila
bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin
diwujudkan
dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat
secara berurutan-terbalik:
6
· Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan
politik, budaya,
agama,
dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
· Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;
· Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan
berdasarkan
konsep
mempertahankan persatuan;
· Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan
kemanusiaan yang
adil
dan beradab;
· Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi,
persatuan, dan
kemanusiaan
(keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan
Yang
Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti
sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi
kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup
masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan),
masyarakat
industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai
sosial
politik yang dijadikan moral baru masyarakat
informasi adalah:
~
nilai toleransi;
~
nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~
nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~
bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
7
G. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
Pancasila
sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
Sila
Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan
Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada
pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi
Ekonomi
atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam
Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang
harus mampu mewujudkan
perekonomian
nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak
lagi
yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi
besar/konglomerat).
Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan,
dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi,
usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan
ekonomi
nasional. Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar
atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah
koperasi.
Ekonomi
Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program
kongkrit
pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih
mampu
mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan
demikian,
Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam
8
berekonomi,
sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi
Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis
berperanan
memaksakan
pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau
meningkatkan
kepastian hukum.
H. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Kebudayaan
Bangsa
Paradigma-baru
dalam pembangunan nasional berupa paradigma
pembangunan berkelanjutan, yang
dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu
diselenggarakan
dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat,
di
samping hak negara untuk
mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi
individu
secara
berimbang (Sila Kedua). Hak budaya komuniti dapat sebagai
perantara/penghubung/penengah
antara hak negara dan hak asasi individu.
Paradigma
ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang
mengabaikan
kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia.
Dengan
demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi
sukubangsa
tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan
pembangunan
regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan
menjamin
keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka
memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan
kedaulatan
dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
9
Apabila
dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu
memenuhi
kriteria sebagai puncak-puncak
kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama,
bagi
kebudayaan-kebudayaan di daerah: (1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun
sukubangsa
ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang
tidak
mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sila Kedua,
merupakan
nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia
tanpa
membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3)
Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat
majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu
bangsa
yang berdaulat; (4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas
persebarannya
di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan
kesepakatan
melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan
nilai-nilai
budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima,
betapa
nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat
perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
I. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pertahanan
Paradigma-baru TNI dalam
rangka menjadikan Pancasila (sila-sila Pancasila)
10
sebagai
paradigma pembangunan pertahanan adalah berupa: (1) Tindakan TNI
senantiasa:
(a) melaksanakan tugas negara dalam rangka pemberdayaan kelembagaan
fungsional,
(b) atas kesepakatan bangsa, (c) bersama-sama komponen strategis
bangsa
lainnya, (d) sebagai bagian dari sistem nasional, (e) melalui pengaturan
konstitusional;
dan (2) pada hakikatnya merupakan pemberdayaan bangsa.
Esensi implementasi paradigma-baru
itu—secara internal TNI—berupa:
(1)
tanggalkan kegiatan sosial politik, (2) bertugas pokok pada pertahanan negara
terhadap
ancaman dari luar negeri, (3) keamanan dalam negeri merupakan fungsi
Polri,
(4) melakukan penguatan dan penajaman pada konsistensi doktrin gabungan
(keseimbangan
AD-AL-AU).
Paradigma-lama TNI (ABRI) berupa: (1)
pendekatan keamanan pada
masalah
kebangsaan, (2) posisi ABRI dekat dengan pusat kekuasaan, (3) ABRI
sebagai
penjuru bagi penyelesaian segenap masalah kebangsaan, (4) ABRI dapat
ambil
inisiatif bagi penyelesaian masalah kebangsaan, (5) ABRI berperan dalam
sistem
politik nasional, (6) bermitra tetap dalam politik: dukung mayoritas tunggal
(ABG).
J. Implikasi Paradigma Pancasila pada Pemahaman UUD 1945
Karena
Ideologi Pancasila merupakan pandangan hidup (PH), dasar negara
(DN),
dan tujuan negara (TN) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, ia harus
dijadikan
sistem nilai acuan (paradigma)
dalam memahami UUD 1945.
11
Selanjutnya,
karena UUD 1945 merupakan hukum dasar (yang tertulis) bagi segala
norma
moral bangsa (NM), norma hukum nasional (NH), dan norma
politik/kebijakan
pembangunan (NK), ia harus dijadikan landasan bagi pembangunan
moral
bangsa, hukum nasional, dan kebijakan pembangunan nasional di segala
bidang.
Sehingga, pembangunan moral, hukum, dan kebijakan pembangunan di
Indonesia
harus dalam kerangka merealisasikan, selalu berada di jalur, dan selalu
mengacu
pada nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila Pancasila.
Implikasinya
pada pemahaman UUD 1945 dapat dijelaskan bahwa setiap
pemaknaan,
penafsiran-kembali, atau perubahan UUD 1945 harus ditempatkan dalam
kerangka
memahami, merealisasikan, menjabarkan, menegakan, dan mengacu pada
nilai-nilai
yang terkandung dalam kesatuan sila Pancasila.
K. Reaktualisasi Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi dan Era
Global
Di
era reformasi dan era global ini kita menyaksikan seakan-akan Pancasila
begitu
‘hilang dari peredaran’, padahal ia sesungguhnya merupakan ideologi
bangsa/negara
Indonesia yang terwujudkan sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia,
dasar negara kesatuan Republik Indonesia, dan tujuan negara/bangsa
Indonesia.
12
‘Kehilangan’
ini tampak pada adanya dua fenomena, sebagai contoh, berikut:
1. Dalam berpraktek politik kenegaraan, yang
menonjol kini adalah aktualisasi
ideologi-ideologi-aliran/ideologi-ideologi-partisan
yang ditunjukan oleh pribadipribadi,
partai-partai
politik, ormas-ormas, daerah-daerah, dan lain sebagainya.
Mereka
cenderung mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, atau
daerah
daripada kepentingan bangsa dan negara untuk bersama-sama mengatasi
krisis
bangsa yang multidimensional.
2.
Dalam berpraktek ekonomi nasional, yang menonjol kini adalah aktualisasi
jualbeli
uang,
lobi bisnis politik-uang, perebutan jabatan publik ekonomis, dan lain
sebagainya
yang ditunjukan oleh para konglomerat, para pialang saham (baik
pemain
domestik maupun internasional), para politisi/partisan partai politik, atau
yang
lainnya yang seringkali mengabaikan kepentingan yang lebih luas, lebih
besar,
dan lebih jauh ke depan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Fenomena
seperti itu, kemudian mengundang kita untuk berpikir: Bagaimana
mengatasinya? Secara ideologis,
jawabannya adalah dengan cara reinterpretasi dan
reaktualisasi
nilai-nilai Pancasila. Agar reinterpretasi dan reaktualisasi Pancasila itu
tepat—yang
pada akhirnya akan dapat memahami UUD 1945 secara benar—,
diperlukan pemahaman Pancasila:
1.
Yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan empiris dan objektif dari sejarah
nilainilai
budaya
bangsa Indonesia sejak budaya suku-suku asli sampai dengan saatsaat
menjelang
tanggal 18 Agustus 1945 ketika Pancasila disahkan oleh PPKI.
13
2.
Ini diperlukan untuk lebih meyakini bahwa Pancasila itu milik bangsa Indonesia
sejak
dahulu kala; yang lahir dan berkembang di dalam sejarah manusia dan
bangsa
Indonesia.
3.
Yang diyakini bahwa ideologi Pancasila itu berguna dalam menjawab dan
mengatasi
permasalahan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang, yaitu
terutama
permasalahan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan: (1) yang
tidak
terjawab oleh masing-masing agama di Indonesia, (2) yang tidak
terjangkau
oleh masing-masing
budaya-lokal,
oleh ideologi-ideologi partisan di Indonesia, atau oleh ideologiideologi
global
di dunia, (3) yang tidak terakomodasi oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi,
(4) yang tidak terpikirkan oleh ilmuwan/pemimpin/ tokoh bangsa di
Indonesia,
dan (5) yang belum teralami oleh hidup manusia/masyarakat
Indonesia.
4.
Yang sedang ditantang oleh globalisasi ilmu pengetahuan dan informasi,
liberalisasi
ekonomi/perdagangan, globalisasi politik dan hukum/HAM yang
liberal
(west-vision), standardisasi kualitas lingkungan hidup (yang ramah
lingkungan)
global, dan seterusnya.
Tegasnya,
kini tidak bisa lagi memahami Pancasila dan UUD 1945 secara
mengabaikan
nilai-nilai budaya asli bangsa Indonesia, berpikir dan bersikap eksklusif
seakan-akan
pihak dirinya yang paling benar, dan menutup diri dari pengaruh
glob